Selamat Datang di Website Resmi AKBID Sismadi Jakarta, untuk daftar online silahkan klik dibawah ini :

Rabu, 09 November 2016

Gender - Akademi Kebidanan Sismadi.

Sekitar Masalah Gender
 Oleh : Kusuma Dini, AMKeb, SKM, MKM

Istilah gender diambil dari kata dalam bahasa Arab “Jinsiyyun” yang kemudian diadopsi dalam bahasa Perancis dan Inggris menjadi “gender” (Faqih, 1999). Gender diartikan sebagai perbedaan peran dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki yang ditentukan secara sosial. Gender berhubungan dengan bagaimana persepsi dan pemikiran serta tindakan yang diharapkan sebagai perempuan dan laki-laki yang dibentuk masyarakat, bukan karena perbedaan biologis. Peran gender dibentuk secara sosial., institusi sosial memainkan peranan penting dalam pembentukkan peran gender dan hubungan.

Kesetaraan gender adalah tidak adanya diskriminasi berdasarkan jenis kelamin seseorang dalam memperoleh kesempatan dsan alokasi sumber daya, manfaat atau dalam mengakses pelayanan.  Berbeda halnya dengan keadilan gender merupakan  keadilan pendistribusian manfaat dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki. Konsep yang mengenali adanya perbedaan kebutuhan dan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki, yang harus diidentifikasi dan diatasi dengan cara memperbaiki ketidakseimbangan antara jenis kelamin. Masalah gender muncul bila ditemukan perbedaan hak, peran dan tanggung jawab   karena adanya nilai-nilai sosial budaya yang tidak menguntungkan salah satu jenis kelamin (lazimnya perempuan).

Untuk itu perlu dilakukan rekontruksi sosial sehingga nilai-nilai sosial budaya yang tidak menguntungkan tersebut dapat dihilangkan. Sehingga masalah kesehatan reproduksi yang erat kaitannya dengan ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender dapat dihindari, khususnya kematian ibu dan anak yang masih tinggi di Indonesia.
Pembahasan dalam topik isu gender ini dimaksudkan untuk memberikan informasi sehingga dapat mengembangkan ide-ide kreatif dan inovatif yang disesuaikan dengan sosial, budaya, kondisi dan situasi di wilayah setempat untuk megatasi masalah kesehatan reproduksi remaja.

Mengingat masih tingginya “4 TERLALU” ( Terlalu Muda, Terlalu tua, Terlalu Banyak, Terlalu Sering untuk hamil dan bersalin) yang berhubungan dengan penyebab kematian ibu dan anak kondisi ini sesungguhnya dapat dicegah, dan tidak terjadi kematian yang sia-sia. Selain itu masalah ksehatan lainnya penularan dan penyebaran HIV/AIDS. Dengan upaya pemberian informasi kesehatan diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan remaja yang pada akhirnya remaja mempunyai pandangan dan sikap yang baik untuk dapat membantu pencegahan penularan HIV/AIDS, pencegahan kehamilan tidak diharapkan.

Masalah kesehatan reproduksi remaja selain berdampak secara fisik, juga dapat berpengaruh terhadap kesehatan mental dan emosi, keadaan ekonomi dan kesejahteraan sosial dalam jangka panjang. Dampak jangka panjang tersebut tidak hanya berpengaruh terhadap keluarga, masyarakat dan bangsa akhirnya.
Permasalahan prioritas kesehatan reproduksi pada remaja dapat dikelompokkan sebagai berikut :
a. Kehamilan tidak dikehendaki, yang seringkali menjurus kepada aborsi yang tidak aman dan komplikasinya
b. Kehamilan dan persalinan usia muda yang menambah risiko kesakitan dan kematian ibu dan bayi
c. Masalah Penyakit Menul;ar Seksual termasuk infeksi HIV/AIDS
d. Tindak kekerasan seksual, seperti pemerkosaan, pelecehan seksual dan transaksi seks komersial

Kehamilan remaja kurang dari 20 tahun menyumbangkan risiko kematian ibu dan bayi 2 hingga 4 kali lebih tinggi dibanding kehamilan pada ibu berusia 20 – 35 tahun. Pusat penelitian Kesehatan UI mengadakan penelitian di Manado dan Bitung ( 1997), menunjukkan bahwa 6% dari 400 pelajar SMU puteri dan 20% dari 400 pelajar SMU putera pernah melakukan hubungan seksual.Survei Depkes (1995/1996) pada remaja usia 13 - 19 tahun di Jawa barat (1189) dan di Bali (922) mendapatkan 7% dan 5 % remaja putri di Jawa Barat dan Bali mengaku pernah terlambat haid atau hamil. Di Yogyakarta, menurut data sekunder tahun 1996/1997, dari 10.981 pengunjung klinik KB ditemukan 19,3% yang datang dengan kehamilan yang tidak dikehendaki dan telah melakukan tindakan pengguguran yang disengaja sendiri secara tidak aman. Sekitar 2% diantaranya berusia kurang dari 22 tahun. Dari data PKBI sumbar tahun 1997 ditemukan bahwa remaja yang telah melakukan hubungan seksual sebelum menikah mengakui kebanyakan melakukannya pertama kali pada usia antara 15 – 18 tahun.

Ada beberapa fakta berikut yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi remaja bahwa KEK remaja putri 36% (SKIA : 1995), Anemia Remaja Putri 52% (SDKI : 1995), merokok berusia kurang dari 14 tahun 9% dan kurang dari 19 tahun 53% (Susenas : 1995), Remaja Putri Perokok sebanyak 1% – 8%, peminum minuman keras 6%, pemakai napza 0,3 – 3% (LDFE-UI). Sekitar 70.000 remaja putri kurang dari 18 tahun terlibat dalam prostitusi industri seks ditemukan di 23 propinsi, seks sebelum menikah 0,4 – 5% (LDFE-UI : 1999), 2,4 juta aborsi/ tahun, 21% diantaranya terjadi pada remaja, 11% kelahiran terjadi pada usia remaja, 43% perempuan melahirkan anak pertama dengan usia pernikahan kurang dari 9 bulan.

Informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi remaja dewasa ini belum memadai, dan kebanyakan baru ditangani oleh swadaya masyarakat di kota-kota besar.(Depkes : 2001). Dari berbagai penelitian terbatas diketahui angka prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi (ISR) di Indonesia cukup tinggi, diantaranya penelitian pada 312 akseptor KB di Jakarta Utara (1998) angka prevalensi ISR 24,7% dengan infeksi klamidia yang tertinggi yaitu 10,3%, kemudian trikomoniasis 5,4%, dan gonore 0,3%. Penelitian lain di Surabaya pada 599 ibu hamil didapatkan infeksi virus herpessimpleks sebesar 9,9%, klamidia 8,2% trikomoniasis 4,8%, gonore 0,8% dan sifilis 0,7%. Suatu survey di 3 Puskesmas di Surabaya (1999 (pada 195 pasien pengunjung KIA/BP diperoleh proorsi tertinggi infeksi trikomoniasis 6,2%, kemudian sifilis 4,6% dan klamidia 3,6%. Upaya pencegahan dan penanggulangan ISR di tingkat pelaynan dasar masih jauh yang diharapkan. Upaya tersebut baru dilaksanakan secara terbatas di beberapa propinsi. Hambatan sosio-budaya sering mengakibatkan ketidak tuntasan dalam pengobatanya, sehingga menimbulkan komplikasi ISR yang serius seperti kemandulan, keguguran, dan kecacatan janin

Hingga bulan Desember 2006 tercatat jumlah kumulatif kasus HIV sebanyak 5230 dan kasus AIDS sebanyak 8190. Dari penderita AIDS tersebut, 6604 kasus (80,7%) adalah laki-laki dan 1529 kasus (18,6%) adalah perempuan dan tidak diketahui 61 kasus (0,7%). Dari segi usia rebanyak pada usia 20 - 29 tahun sebanyak 4487 kasus ( 54,7%), usia 30 – 39 tahun sebanyak 2226 kasus ( 27,2%), usia 40 – 49 sebannyak 647 kasus (7,9%), usia 15 – 19 tahun sebanyak 222 kasus (2,7%),usia 5 – 14 tahun 22 kasus (0,26%), dengan jumlah kasus terbanyak berada di DKI Jakarta 2565 (31,3%).
Dengan faktor risiko penularan yaitu narkoba suntik 50,3%, heteroseksual 40,3%, homo biseksual 4,2%, transfuse darah 0,1% transmisi perinatal 1,5%, tidak diketahui 3,6%. Jumlah penderita HIV/AIDS yang sebenarnya diperkirakan 100 kali lipat dari jumlah yang dilaporkan.. Strategi Penanggulangan AIDS Nasional 2003-2007 menyatakan bahwa pencegahan dan penularan HIV dari ibu ke bayi merupakan sebuah program prioritas. Masih banyak isu gender lainnya yang terkait dengan kesehatan reproduksi remaja,  diantaranya sunat pada perempuan, kekerasan terhadap perempuan/dalam rumah tangga, perlecehan seksual/pemerkosaan, perdagangan manusia/perempuan.

Program ini akan membahas mengenai fakta dan upaya mengatasi ketidaksetaraan berbasis gender yang terjadi di masyarakat, data yang akan ditunjukkan dalam bidang pendidikan, partisipasi politik dan ekonomi, mengingat perempuan yang paling terkena dampak dari ketidaksetaraan ini diantaranya perempuan dinilai kurang bernilai daripada laki-laki maka data yang akan di sajikan akan lebih banyak mengenai keterlibatan perempuan.


Laki-laki dan perempuan berada di muka bumi ini mempunyai tugasnya masing-masing. Tugas itu bisa berupa tugas alami atau kodrati dan tugas yang melekat padanya karena bangunan atau konstruksi sosial, adat, agama dan masyarakat di mana mereka huni. Masing-masing ada jatahnya.
Berpijak pada analisis gender yang bertujuan untuk menghapus kesalahpahaman masyarakat tentang dua kata “gender dan sex” juga bertujuan untuk menghilangkan ketidakadilan gender (gender inequality). Ketidakadilan gender berdampak buruk terutama terhadap perempuan yang sering dirugikan akibat kesalahpahaman tersebut.
Sosialisasi gender yang telah berlangsung di tengah masyarakat dalam waktu yang tidak sedikit mengakibatkan menancapnya pemahaman, bahkan keyakinan, bahwa apa yang dilakukan perempuan dan laki-laki serta perannya dalam masyarakat merupakan hal yang kodrati. Oleh karena itu, pandangan umum masyarakat tentang perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan sudah tidak bisa dipertukarkan.
Dalam makalah ini kami bermaksud membahas tentang pandangan sebelah mata terhadap keberadaan dan peran perempuan atau ketidakadilan gender yang terjadi di tengah-tengah masyarakat serta mengurai sedikit berbagai macamnya.

Ketidakadilan Gender (Gender Inequality)
Perbedaan gender sesunggunhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (Gender Inequality).[1] Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur di mana baik kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut.[2] Ketidakadilan gender itu menurut para feminis akibat dari kesalahpahaman terhadap konsep gender yang disamakan dengan konsep seks.[3] Perbedaan gender mengakibatkan ketidakadilan. Ketidakadilan tyersebut bisa disimpulkan dari manifestasi ketidakadilan tersebut yakni: Marginalisasi, subordinasi, stereotipe, kekerasan (violence) dan beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden) atau (double burden). Berikut kita uraikan masing-masing dari bentuk ketidakadilan gender tersebut.



·       Marginalisasi:
Marginalisasi artinya : suatu proses peminggiran akibat perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan kemiskinan.
Banyak cara yang dapat digunakan untuk memarjinalkan seseorang atau kelompok. Salah satunya adalah dengan menggunakan asumsi gender. Misalnya dengan anggapan bahwa perempuan berfungsi sebagai pencari nafkah tambahan, maka ketika mereka bekerja diluar rumah (sector public), seringkali dinilai dengan anggapan tersebut. Jika hal tersebut terjadi, maka sebenarnya telah berlangsung proses pemiskinan dengan alasan gender.
Contoh :
1)   Guru TK, perawat, pekerja konveksi, buruh pabrik, pembantu rumah tangga dinilai sebagai pekerja rendah, sehingga berpengaruh pada tingkat gaji/upah yang diterima.
2)   Masih banyaknya pekerja perempuan dipabrik yang rentan terhadap PHK dikarenakan tidak mempunyai ikatan formal dari perusahaan tempat bekerja karena alasan-alasan gender, seperti  sebagai pencari nafkah tambahan, pekerja sambilan dan juga alasan factor reproduksinya, seperti menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui.
3)   Perubahan dari sistem pertanian tradisional kepada sistem pertanian modern dengan menggunakan mesin-mesin traktor telah memarjinalkan pekerja perempuan.

·       Subordinasi
Subordinasi Artinya : suatu penilaian atau anggapan bahwa suatu peran yang dilakukan oleh satu jenis kelamin lebih rendah dari yang lain.
Telah diketahui, nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, telah memisahkan dan memilah-milah peran-peran gender, laki-laki dan perempuan. Perempuan dianggap bertanggung jawab dan memiliki peran dalam urusan domestik atau reproduksi, sementara laki-laki dalam urusan public atau produksi.
Pertanyaannya adalah, apakah peran dan fungsi dalam urusan domestic dan reproduksi mendapat penghargaan yang sama dengan peran publik dan produksi? Jika jawabannya “tidak sama”, maka itu berarti peran dan fungsi public laki-laki. Sepanjang penghargaan social terhadap peran domestic dan reproduksi berbeda dengan peran publik dan reproduksi, sepanjang itu pula ketidakadilan masih berlangsung.
Contoh :
1.    Masih sedikitnya jumlah perempuan yang bekerja pada posisi atau peran pengambil keputusan atau penentu kebijakan disbanding laki-laki.
2.    Dalam pengupahan, perempuan yang menikah dianggap sebagai lajang, karena mendapat nafkah dari suami dan terkadang terkena potongan pajak.
3.    Masih sedikitnya jumlah keterwakilan perempuan dalam dunia politik (anggota legislative dan eksekutif).

·       Sterotipe atau Pelabelan Negatif
Semua bentuk ketidakadilan gender diatas sebenarnya berpangkal pada satu sumber kekeliruan yang sama, yaitu stereotype gender laki-laki dan perempuan.Stereotype itu sendiri berarti pemberian citra bakuatau label/cap kepada seseorang atau kelompok yang didasarkan pada suatu anggapan yang salah atau sesat.
Pelabelan umumnya dilakukan dalam dua hubungan atau lebih dan seringkali digunakan sebagai alasan untuk membenarkan suatu tindakan dari satu kelompok atas kelompok lainnya.Pelabelan juga menunjukkan adanya relasi kekuasaan yang timpang atau tidak seimbang  yang bertujuan untuk menaklukkan atau menguasai pihak lain.Pelabelan negative juga dapat dilakukan atas dasar anggapan gender. Namun seringkali pelabelan negative ditimpakan kepada perempuan.
Contoh :
a)  Perempuan dianggap cengeng, suka digoda.
b)  Perempuan tidak rasional, emosional.
c)  Perempuan tidak bisa mengambil keputusan penting.
d)  Perempuan sebagai ibu rumah tangga dan pencari nafkah tambahan.
e)  Laki-laki sebagai pencari nafkah utama.




·       Kekerasan
     Kekerasan (violence) artinya tindak kekerasan, baik fisik maupun non fisik yang dilakukan oleh salah satu jenis kelamin atau sebuah institusi keluarga, masyarakat atau negara terhadap jenis kelamin lainnya. Peran gender telah membedakan karakter perempuan dan laki-laki. Perempuan dianggap feminism dan laki-laki maskulin. Karakter ini kemudian mewujud dalam ciri-ciri psikologis, seperti laki-laki dianggap gagah, kuat, berani dan sebagainya. Sebaliknya perempuan dianggap lembut, lemah, penurut dan sebagainya.
     Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pembedaan itu. Namun ternyata pembedaan karakter tersebut melahirkan tindakan kekerasan. Dengan anggapan bahwa perempuan itu lemah, itu diartikan sebagai alasan untuk diperlakukan semena-mena, berupa tindakan kekerasan.
     Contoh :
1.    Kekerasan fisik maupun non fisik yang dilakukan oleh suami terhadap isterinya di dalam rumah  tangga.
2.    Pemukulan, penyiksaan dan perkosaan yang mengakibatkan perasaan tersiksa dan tertekan. Perkosaan juga bisa terjadi dalam rumah tangga karena konsekuensi tertententu yang dibebankan kepada istri untuk harus melayani suaminya. Hal ini bisa terjadi karena konstruksi yang melekatinya.
3.    Pelecehan seksual (molestation), yaitu jenis kekerasan yang terselubung dengan cara memegang atau menyentuh bagian tertentu dari tubuh perempuan tanpa kerelaan si pemilik tubuh.
4.    Eksploitasi seks terhadap perempuan dan pornografi.
5.    Genital mutilation: penyunatan terhadap anak perempuan. Hal ini terjadi karena alasan untuk mengontrol perempuan.
6.    Prostitution: pelacuran. Pelacuran dilarang oleh pemerintah tetapi juga dipungut pajak darinya. Inilah bentuk ketidakadilan yang diakibatkan oleh sistem tertentu dan pekerjaan pelacuran juga dianggap rendah.




·       Beban ganda (double burden)
Beban ganda (double burden) artinya beban pekerjaan yang diterima salah satu jenis kelamin lebih banyak dibandingkan jenis kelamin lainnya.
Peran reproduksi perempuan seringkali dianggap peran yang statis dan permanen. Walaupun sudah ada peningkatan jumlah perempuan yang bekerja diwilayah public, namun tidak diiringi dengan berkurangnya beban mereka di wilayah domestic. Upaya maksimal yang dilakukan mereka adalah mensubstitusikan pekerjaan tersebut kepada perempuan lain, seperti pembantu rumah tangga atau anggota keluarga perempuan lainnya. Namun demikian, tanggung jawabnya masih tetap berada di pundak perempuan. Akibatnya mereka mengalami beban yang berlipat ganda.
Segala bentuk ketidakadilan gender tersebut di atas termanifestasikan dalam banyak tingkatan yaitu di tingkat negara, tempat kerja, organisasi, adat istiadat masyarakat dan rumah tangga.
Tidak ada prioritas atau anggapan bahwa bentuk ketidakadilan satu lebih utama atau berbahaya dari bentuk yang lain. Bentuk-bentuk ketidakadilan tersebut saling berhubungan, misalnya seorang perempuan yang dianggap emosional dan dianggap cocok untuk menempati suatu bentuk pekerjaan tertentu, maka juga bisa melahirkan subordinasi.
Perbedaan gender akan melahirkan ketidakadilan yang saling berhubungan dengan perbedaan tersebut berikut tabelnya analisanya:
  
Keyakinan Gender
Bentuk Ketidakadilan Gender
Perempuan: lembut dan bersifat emosional
Tidak boleh menjadi manajer atau pemimpin sebuah institusi
Perempuan: pekerjaan utamanya di rumah dan kalau bekerja hanya membantu suami (tambahan)
Dibayar lebih rendah dan tidak perlu kedudukan yang tinggi/penting
Lelaki: berwatak tegas dan rasional
Cocok menjadi pemimpin dan tidak pantas kerja dirumah dan memasak

Globalisasi merupakan tantangan tersendiri bagi usaha untiuk meniadakan ketidakadilan ini. Televisi adalah bentuk nyata dari arus globalisasi tersebut di mana televisi seakan menjadi transformasi nilai. Penayangan iklan-iklan tertentu yang berlebihan adalah sumber pemicunya. Contoh nyata adalah iklan produk susu yang mengakibatkan ASI dipandang tidak begitu penting dalam perkembangan anak, padahal sebaliknya. Contoh lain adalah iklan yang mempertontonkan gambar-gambar wanita yang vulgar. Gamba-gambar tersebut merupakan salah satu bentuk pornografi. Iklan-iklan produk tertentu juga sering menggunakan model perempuan yang dianggap cocok dengan karakter produk mereka, misalnya kelembutan, keanggunan dan kelincahah.
Di sisi lain para ahli dari kalangan akademis maupun non akademis menyelenggarakan acara seminar guna meluruskan kesalahpahaman tentang konsep gender dan sex yang menimbulkan ketidakadilan seperti seminar yang diadakan oleh Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) dengan menghadirkan Guru Besar, Prof Dr Markamah, dalam seminar Sastra Nasional Pembelajaran Sastra Berperspektif Kesetaraan Gender.

Kesimpulan
         Perbedaan gender bukanlah masalah sepanjang perbedaan ini tidak menimbulkan ketimpangan dan ketidakadilan. Oleh karena itu, perlu adanya pemahaman yang tuntas mengenai konsep gender dan sex. Karena konsep gender yang telah melekat dalam masyarakat dengan proses yang panjang, maka pelurusan pemahaman juga membutuhkan waktu yang tidak singkat.

Referensi
Abdullah, Irwan, Sangkan Paran Gender,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Fakih, Mansour, Analisis Gender dan Transformasi Sosial,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Gandhi, Mahatma, Woman and Social Injustice, terj. Siti Farida (Perempuan dan Ketidakadilan Sosial),Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006.
Ilyas, Yunahar, Feminisme Dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an Klasik dan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.         
Nugroho, Riant, Gender dan Strategi Pengarusutamaannya Di Indonesia,Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008.




ISU GENDER DALAM BIDANG KESEHATAN

Gender mempunyai pengaruh besar terhadap kesehatan laki-laki dan perempuan. Baik laki-laki maupun perempuan sama-sama terkena dampak dan gender stereotype masing-masing. Misalnya sesuai dengan pola perilaku yang diharapkan sebagai laki-laki, maka laki-laki dianggap tidak pantas memperlihatkan rasa sakit atau mempertunjukkan kelemahan-kelemahan serta keluhannya. Perempuan yang diharapkan memiliki toleransi yang tinggi, berdampak terhadap cara mereka menunda-nunda pencarian pengobatan, terutama dalam situasi social ekonomi yang kurang dan harus memilih prioritas, maka biasanya perempuan dianggap wajar untuk berkorban.
Keadaan ini juga dapat berpengaruh terhadap konsekuensi kesehatan yang dihadapi laki-laki dan perempuan. Misalnya kanker paru-paru banyak diderita oleh laki-laki diwaspadai ada kaitannya dengan kebiasaan merokok. Penderita depresi pada perempuan  dua kali sampai tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan lebih banyak menderita penyakit menahun yang berkepanjangan (TBC), akan tetapi ada kecenderungan dari perhitungan, karena kebiasaan perempuan untuk mengabaikan atau menunda mencari pengobatan, jika penyakit itu masih bisa ditanggungnya.

Penting sekali memahami realitas, bahwa perempuan dan laki-laki menghadapi penyakit dan kesakitan bisa berbeda. Informasi  itu hanya didapat jika  kita memiliki data klen, seperti data umur, status, social ekonomi yang terpilah menurut jenis kelamin.

Hal-hal yang diperlukan untuk memahami isu gender berkaitan dengan kesehatan adalah :
1.    Mengumpulkan data dan informasi yang memperlihatkan bukti adanya ketimpangan berbasis gender dalam kesehatan perempuan dan laki-laki; 
2.    Menyatakan data dan informasi tersebut serta memperhitungkannya ketika mengembangkan kebijakan dan program kesehatan;
3.    Mengimplementasikan program-program yang sensitive gender untuk memperbaiki ketimpangan;
4.    Mengembangkan mekanisme monitoring yang responsive terhadap isu gender, untuk memastikan ketimpangan gender dipantau secara teratur.

Isu-isu gender dalam berbagai siklus kehidupan. Pada kesempatan ini ada 4 (empat) isu gender dalam berbagai kehidupan, yaitu :

Isu Gender Di Masa Kanak-Kanak.
Isu gender pada anak-anak laki-laki, misalnya: pada beberapa suku tertentu, kelahiran bayi laki-laki sangat diharapkan dengan alas an, misalnya laki-laki adalah penerus atau pewaris nama keluarga; laki-laki sebagai pencari nafkah keluarga yang handal; laki-laki sebagai penyanggah orang tuanya di hari tua., Dan perbedaan perlakuan juga berlanjut pada masa kanak-kanak. Pada masa kanak-kanak, sifat agresif anak laki-laki serta perilaku yang mengandung resiko diterima sebagai suatu kewajaran, bahkan didorong kearah itu, karena dianggap sebagai sifat anak laki-laki. Sehingga data menunjukkan bahwa anak laki-laki lebih sering terluka dan mengalami kecelakaan.

Isu Gender Pada Anak Perempuan.
Secara biologis bayi perempuan lebih tahan daripada bayi laki-laki terhadap penyakit infeksi di tahun-tahun pertama kehidupannya. Sebab itu jika data memperlihatkan kematian bayi perempuan lebih tinggi dan bayi laki-laki, patut dicurigai sebagai dampak dari isu gender. Di masa balita, kematian karena kecelakaan lebih tinggi dialami oleh balita laki-laki, karena sifatnya yang agresif dan lebih banyak gerak. Data Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI 1991-2002/2003) menunjukkan : tren kematian bayi  lebih tinggi pada bayi laki-laki daripada bayi perempuan, trend kematian anak balita lebih tinggi pada balita laki-laki dari pada balita perempuan.

Isu Gender Di Masa Remaja. Isu gender yang berkaitan dengan remaja perempuan, antara lain : kawin muda, kehamilan remaja, umumnya renmaja puteri kekurangan nutrisi, seperti zat besi, anemia. Menginjak remaja, gangguan anemia merupakan gejala umum dikalangan remaja putri. Gerakan serta interaksi social remaja puteri seringkali terbatasi dengan datangnya menarche. Perkawinan dini pada remaja puteri dapat member tanggung jawab dan beban melampaui usianya. Belum lagi jika remaja puteri mengalami kehamilan, menempatkan mereka pada resiko tinggi terhadap kematian. Remaja putreri juga berisiko terhadap pelecehan dan kekerasan seksual, yang bisa terjadi di dalam rumah sendiri maupun di luar rumah. Remaja putri juga bisa terkena isu berkaitan dengan kerentanan mereka yang lebih tinggi terhadap perilaku-perilaku steriotipi maskulin, seperti merokok, tawuran, kecelakaan dalam olah raga, kecelakaan lalu lintas, ekplorasi seksual sebelum nikah yang berisiko terhadap penyakit-penyakit yang berkaitan dengan :IMS, HIV/AIDS.

Isu Gender Di Masa Dewasa. Pada tahap dewasa, baik laki-laki maupun perempuan mengalami masalah-masalah kesehatan yang berbeda, yang disebabkan karena factor biologis maupun karena perbedaan gender. Perempuan menghadapi masalah kesehatan yang berkaitan dengan fungsi alat reproduksinya serta ketidaksetaraan gender. Masalah-masalah tersebut, misalnya konsekwensi dengan kehamilan dan ketika melahirkan seperti anemia, aborsi, puerperal sepsis (infeksi postpartum), perdarahan, ketidak berdayaan dalam memutuskan bahkan ketika itu menyangkut tubuhnya sendiri (“tiga terlambat”). Sebagai perempuan, dia juga rentan terpapar penyakit yang berkaitan dengan IMS dan HIV/AIDS, meskipun mereka sering hanya sebagai korban. Misalnya : metode KB yang hanya difokuskan pada akseptor perempuan, perempuan juga rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan ditempat kerja, dan diperjalanan.

ISU Gender Di Masa Tua. Di usia tua baik laki-laki maupun perempuan keadaan biologis semakin menurun. Mereka merasa terabaikan terutama yang berkaitan dengan kebutuhan mereka secara psikologis dianggap semakin meningkat. Secara umum, umur harapan hidup perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Namun umur panjang perempuan berisiko ringkih, terutama dalam situasi soaial-ekonomi kurang. Secara kehidupan social biasanya mereka lebih terlantar lagi, terutama yang berkaitan dengan kebutuhan yang semakin banyak dan semakin tergantung terhadap sumber daya. Osteoporosis banyak diderita  oleh perempuan di masa tua, yaitu delapan kali lebih banyak dari pada laki-laki. Depresi mental juga lebih banyak diderita orang tua, terutama karena merasa ditinggalkan.



Referensi :
Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI,  Bahan informasi pengarasutamaan gender.Edisi 2. Jakarta; Depkes RI, Modul pelatihan pengarasutamaan gender bidang kesehatan, Jakarta, 2006
Capacity Building, Kementerian Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak RI, Salak Tower Hotel, 31 Oktober – 2 November 2016
Badgett, M.V. Lee, et al. 2014. The relationship between LGBT inclusion and economic development: An analysis of emerging economies. Los Angeles, California: The Williams Institute.
Diamond, Milton. 2000. Sex and Gender: Same or Different?, Feminism & Psychology, Vol. 10, No. 1, 46 – 54.
Kompas. 2015. Cegah HIV dengan Pembatasan Kondom, DPRD Bengkulu Dikritik. (http://regional.kompas.com/read/2015/06/20/03262761/Cegah.HIV.dengan.Pe mbatasan.Kondom.DPRD.Bengkulu.Dikritik diakses Juni 2015)
Maslim, Rusdi. 2002. Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta
Parameters of Social Exlusion of Waria PNPM Peduli, May 2014.
The New York Times. 2015. Supreme Court Ruling Makes Same-Sex Marriage a Right Nationwide. (http://www.nytimes.com/2015/06/27/us/supreme-court-samesex-marriage.html?_r=0 diakses Juni 2015)
UNDP, USAID. 2014. Being LGBT in Asia: Indonesia Country Report. Bangkok. (http://www.aidsdatahub.org/sites/default/files/publication/Being_LGBT_in_A sia_Indonesia_Country_report_2014.pdf Diakses Juni 2015)
Yogyakarta Principles. 2007. Yogyakarta Principles on the application of international human rights law in relation to sexual orientation and gender identity. (www. yogyakartaprinciples.org diakses Juni 2015)

2 komentar:

Posting Komentar